Dalam rangka otokritik (kritik kepada kalangan sendiri), tulisan ini disajikan kepada segenap pembaca yang budiman. Sebagai upaya kita berjihad memperbaiki nasib Ummat Islam yang semakin terpuruk dari masa ke masa dalam pergaulan universal. Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan kemestian problem solving bagi ummat ini:
“Tidak akan menjadi baik urusan ummat ini kecuali dengan yang telah memperbaiki pendahulunya.”
Pendahulu ummat ini adalah para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Sedangkan yang telah memperbaiki nasib penduhulu ummat ini adalah ketika mereka beriman dan beramal dengan bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Itulah yang terus kita perjuangkan dan berikut ini kita berusaha mengenali kekurangan diri kita sendiri agar kita berpeluang memperbaikinya. Yaitu mutiara-mutiara akhlaq yang hilang dari pergaulan kita. Semoga dengan kita menyadari kehilangan barang berharga tersebut, kita akan berusaha menemukannya kembali, dan mutiara itu bersinar lagi dalam pergaulan kita. Inilah data barang hilang itu:
1). Al-Ikhlas , yaitu kemurnian tauhid dari segala noda syirik dalam beribadah kepada Allah Ta'ala. Noda syirik itu dengan segenap jenisnya akan merusakkan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya. Sedangkan jenis-jenis syirik itu adalah:
a). Syirik akbar atau syirik besar, yaitu mempersembahkan amalan ibadah kepada selain Allah disamping mempersembahkannya kepada Allah. Syirik akbar ini membatalkan keislaman pelakunya dan tentu membatalkan keikhlasannya pula. Syirik akbar ini contohnya ialah sujud dan ruku' kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, thawaf mengelilingi tempat yang dikeramatkan selain Ka'bah seperti thawaf di kuburan wali dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi contoh perbuatan syirik akbar .
b). Syirik asghar atau syirik kecil, yaitu mempunyai niat amalan shalih selain untuk Allah juga untuk yang selain-Nya. Atau menyandarkan diri dalam upaya mencapai keberuntungan dan juga usaha untuk menghindarkan diri dari mara bahaya kepada selain Allah di samping kepada Allah. Contohnya seperti riya' (yakni diniatkan amalannya untuk dilihat atau dipuji orang), juga meyakini keselamatan rumahnya dari pencuri karena ada anjing penjaga padanya atau ada angsa yang selalu bersuara keras bila ada orang yang tidak dikenalnya. Dan termasuk dalam katagori syirik asghar , ialah bila seseorang beramal dengan amalan akhirat, tetapi dia niatkan dengannya untuk mendapatkan kepentingan dunia. Semua itu adalah syirik asghar yang merusakkan keikhlasan pelakunya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh amalan syirik asghar selain apa yang tersebut di atas.
c). Syirik khafi atau syirik yang tersembunyi, yaitu amalan syirik yang tersamar pada kebanyakan orang karena tampaknya seolah-olah perbuatan itu ikhlas untuk Allah semata padahal ada niat sampingan yang tersembunyi untuk selain Allah. Hal ini disadari oleh sedikit orang yang dirahmati Allah dan segera dia bertaubat kepada-Nya untuk memurnikan kembali keihkhlasannya yang telah dirusak oleh syirik khafi tersebut. Tetapi kebanyakan orang amat sulit merasakannya dan baru dia mengerti setelah adanya penyimpangan yang jauh dari niat ikhlasnya untuk Allah dan sulit untuk memurnikan kembali niatnya karena telah terkait dengan kepentingan dunia amalan ibadahnya dan hancurlah keikhlasannya untuk Allah karenanya. Kebanyakan syirik khafi ini dimulai dari syirik asghar dan kemudian berkembang sampai pada tingkat syirik akbar . Contohnya ialah seorang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah. Tetapi diam-diam dia mempunyai agenda tertentu untuk meraih keuntungan dunia melalui jalan dakwah. Atau orang yang berjihad di jalan Allah, disamping niatnya untuk meraih keridlaan Allah juga mempunyai niat lain dari kepentingan dunia. Sehingga akhirnya sampai pada tingkat tujuannya mencapai kepentingan dunia mengalahkan niatnya untuk meraih ridla Allah.
Demikian bahayanya syirik itu dalam merusakkan atau bahkan menghancurkan samasekali keikhlasan seorang mukmin dalam beribadah atau beramal shalih. Semakin tersembunyinya syirik itu bagi kebanyakan orang, maka semakin besar pula bahayanya. Tetapi sayang, di hari ini semua jenis syirik yang tiga itu telah mewabah pada kebanyakan kaum Muslimin. Bahkan telah mendominasi kehidupan mereka. Sehingga kaum Muslimin tidak ada lagi wibawanya di hadapan musuh-musuhnya. Karena yang muncul di tengah-tengah kaum Muslimin adalah orang-orang oportunis yang membonceng kepada kepentingan agama demi mencapai kepentingan dunia. Sedikit sekali orang yang benar-benar ikhlas karena Allah dalam beragama ini. Karena memang perbuatan ikhlas itu telah menjadi amalan yang amat berat dalam kehidupan ummat ini di masa kini. Lebih jelasnya, makna ihklas itu telah amat sulit diterapkan pada ummat ini. Karena telah sedikit sekali orang yang mengerti makna ikhlas dengan lengkap dikarenakan semakin malasnya ummat ini untuk belajar agama. Al-Imam Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah telah menerangkan dengan lengkap tentang makna ikhlas yang sesungguhnya sebagai berikut:
“Makna sesungguhnya keikhlasan itu ialah bila seorang Muslim dalam beramal shalih, selalu mengabaikan penglihatan makhluk terhadap amalan itu karena terus-menerus menumpahkan perhatian kepada penglihatan Al-Khaliq (sang Pencipta). Dan ikhlas itu ialah bila engkau beramal shalih, hatimu menginginkan ridla Allah semata dari amalan, ilmu serta dari perbuatan itu. Karena engkau takut kemurkaan Allah dengan sebab ilmu yang ada padamu dan Allah terus-menerus melihat engkau. Sehingga dengan itu akan hilanglah dari hatimu riya'. Kemudian engkau selalu ingat berbagai kenikmatan Allah atasmu, karena Dia telah memberimu taufiq (bimbingan) untuk kamu memilih amalan itu sehingga hilanglah rasa ‘ujub (yakni rasa bangga diri) dari hatimu. Dan kemudian engkau menggunakan kelembutan dalam beramal itu sehingga hilanglah dari hatimu ketergesa-gesaan. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah Allah jadikan kelembutan pada sesuatu kecuali akan memperindah sesuatu itu dan tidaklah Ia mencabut kelembutan itu dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya.”
Selanjutnya Abu Utsman menerangkan: “Dan ketergesa-gesaan itu adalah sikap orang yang mengikuti hawa nafsu, sedangkan kelembutan itu adalah sikap orang yang mengikuti sunnah (yakni ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam ). Bila engkau telah selesai menjalankan amalanmu dengan cara demikian, hatimu terasa penuh ketakutan dari kemungkinan Allah menolak amalanmu dan tidak menerimanya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang bila mengerjakan suatu amalan, hati mereka akan penuh ketakutan karena mereka yakin akan kembali ke Tuhan mereka.” ( Al-Mu'minun : 60).
Kemudian Abu Utsman menegaskan: “Barang siapa yang mengumpulkan empat perkara ini dalam amalannya, maka sungguh dia adalah orang yang berbuat ikhlas dalam amalannya insya Allah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman jilid 5 halaman 348 riwayat ke 6885 – 6886)
Empat perkara yang merupakan ciri keikhlasan seseorang yang bisa dirasakan oleh orang yang sedang beramal itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Utsman Sa'ied bin Ismail tersebut di atas, bila diringkaskan adalah sebagai berikut:
a). Ar-Ru'yah , yakni merasa yakin bahwa amalannya sedang dilihat dan diawasi oleh Allah Ta'ala.
b). Ar-Raja' , yakni mengharapkan ridla Allah semata untuk menerima amalan itu dan memberinya pahala.
c). Ar-Rifeq, yakni kelembutan dan kehati-hatian dalam menjalankan amalan itu dan tidak tergesa-gesa.
d). Al-Khauf, yakni takut kalau amalannya itu tidak diterima oleh Allah Ta'ala.
Betapa jarangnya kaum Muslimin yang memenuhi hatinya dengan empat perkara tersebut ketika beramal shalih. Bahkan sebaliknya, yang diharapkan ialah pengakuan manusia, yang ditakutinya ialah kemarahan atau pengucilan handai taulan karib kerabat terhadapnya, cenderung kasar dan tergesa-gesa membikin keputusan, serta penuh rasa ujub (bangga diri) dalam beramal dan mengharapkan acungan jempol banyak orang.
Jadi, mutiara ikhlas telah hilang dari kita dan gantinya adalah kemunafikan dalam bentuk sikap beragama dua muka yang berbeda antara satu muka dengan muka yang lainnya. Tampaknya sedang beramal dengan amalan shaleh untuk Allah, tetapi hatinya penuh agenda tersendiri untuk meraih kedudukan di sisi manusia. Hal ini telah dikeluhkan oleh para Shahabat Nabi di jaman Ta'biin (yaitu zaman sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam tetapi para shahabat beliau masih hidup). Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu menjelaskan tentang sikap dua muka orang munafiq itu, dalam riwayat berikut ini:
Dari Abi Yahya mengatakan: Pernah Hudzaifah ditanyai: “Apakah yang dinamakan munafiq itu?” Beliau menjawab: “Munafiq itu adalah orang yang berbicara tentang Islam tetapi dia tidak beramal dengannya.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 296 riwayat ke 928).
Ini menunjukkan bahwa si munafiq itu ketika berbicara tentang Islam, sama sekali tidak ada keikhlasan untuk merasa terikat dengannya sehingga Islam hanya dibibirnya saja tetapi tidak ada realisasinya dalam amalannya.
Kemudian Hudzaifah memperingatkan: “Akan datang suatu masa pada kaum Muslimin, dimana pada waktu itu bila engkau melempar anak panah di hari Jum'at (yaitu ketika banyak orang berkumpul di masjid untuk menunaikan kewajiban shalat Jum'at), maka anak panah itu tidak mengena kecuali orang kafir atau orang munafiq.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 halaman 179 riwayat ke 9).
Yakni mayoritas orang yang ada di masjid-masjid pada hari Jum'at itu adalah orang-orang Islam yang telah batal keislamannya karena berbagai kemusyrikan yang dilakukannya sehingga jadilah dia kafir karenanya. Atau kalau tidak demikian maka yang paling ringan adalah orang Islam yang tidak lagi mempunyai keyakinan dan keikhlasan dalam beragama sehingga jadilah dia sebagai orang munafiq karenanya. Masyarakat Muslimin yang telah kehilangan mutiara-mutiara akhlaq dan juga amat rendah pengetahuannya serta pengamalannya tentang agama. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang munafiq itu tidak akan mempunyai perangai yang mulia dan tidak akan pula mengerti ilmu agama. Hal ini telah diberitakan olehnya dalam sabdanya:
“Dua perkara yang tidak mungkin ada pada orang munafiq, yaitu perangai yang baik dan paham agama.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya hadits ke 2684 dari Abi Hurairah).
Ini menunjukkan bahwa akhlaq yang mulia akan hilang dengan hilangnya keikhlasan dan munculnya kemunafikan. Demikian pula akan terjadi sikap ummat Islam yang mengabaikan ilmu agama ketika tumbuh subur di kalangan mereka mental munafiq.
Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhuma menyatakan: “Sesungguhnya seorang Muslim masuk ke rumah penguasa dalam keadaan masih ada Iman dan Islam pada dirinya, tetapi ketika dia keluar dari padanya dalam keadaan tidak lagi tersisa padanya agamanya sedikit pun.” Ditanyakan kepada beliau: “Mengapa demikian wahai Abu Abdur Rahman?” Beliau menjawab: “Karena dia di hadapan penguasa itu berusaha menyenangkannya dengan perkara yang dibenci oleh Allah.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 694 riwayat ke 924).
Demikianlah kenyataannya, dunia politik praktis sering mendidik kaum Muslimin melakukan basa-basi politik atau tegasnya sikap menjilat kepada penguasa sehingga kosong dari keikhlasan. Bahkan sikap menjilat itu dilakukan dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau dengan tenang menginjak-nginjak hukum Allah demi mendapatkan restu penguasa itu. Yang demikian itu adalah kemunafikan yang menghancurkan keikhlasannya dalam beragama.
Pernah pula ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang orang yang menemui penguasa dan di hadapan penguasa itu dia memuji-mujinya. Tetapi ketika dia keluar dari tempat kediaman penguasa itu, dia mencaci-maki penguasa tersebut. Bagaimana perbuatan orang yang demikian ini? Beliau menjawabnya: “Kami para shahabat Nabi menganggap perbuatan yang demikian ini di zaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagai kemunafikan.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 hal. 693 – 694 riwayat ke 921).
Semuanya telah terjadi di hadapan kita dan di masyarakat kita dan mutiara ikhlas itu memang telah hilang dari kita.
Syaikh Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah dalam Fathul Majid halaman 185 jilid ke 2 menukil omongan kakeknya (yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ): “Diperingatkan agar orang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah harus menjaga keikhlasannya. Karena banyak orang yang tampaknya menyeru kepada kebenaran, kemudian ternyata dia menyeru orang untuk memuliakan si juru da'wah itu sendiri.”
Orang-orang yang beramal shalih tetapi mempunyai niat bercabang antara niat untuk Allah dan juga untuk yang lain-Nya, akan berhadapan dengan pengadilan Allah di hari Mahsyar di hari kiamat dan di sana Allah menyatakan menolak sama sekali semua amalan yang niatnya bercabang seperti itu. Hal ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili perkaranya oleh Allah di hari kiamat adalah seorang pria yang syahid (terbunuh dalam pertempuran membela agama Allah), kemudia orang itu didatangkan di hadapan Allah dan kemudian diperkenalkan kepadanya segenap nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya dan dia mengakui semua nikmat itu. Kemudian ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau amalkan dengan nikmat itu?” Dia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu dan aku terbunuh sebagai syahid.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau telah berperang agar engkau dikatakan sebagai pemberani. Dan sungguh telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan agar diseret orang tersebut pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan pula seorang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an untuk dihadapkan kepada Allah. Diperkenalkanlah kepadanya berbagai kenikmatan-Nya kepadanya dan dia mengakui segala limpahan kenikmatan itu dari-Nya. Allah menanyakan kepadanya: “Apa yang engkau telah lakukan dengannya?” Orang ini pun menjawab: “Aku telah belajar ilmu agama dan aku mengajarkannya dan aku membaca Al-Qur'an semata-mata untuk-Mu.” Maka Allah menjawabnya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau belajar agama agar engkau dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan memang telah dikatakan demikian. Dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan sebagai ahli baca Al-Qur'an, dan memang telah dikatakan demikian.” Maka Allah perintahkan agar orang ini diseret pada wajahnya dan kemudian dia dilemparkan ke neraka. Didatangkan pula pada waktu itu seorang yang dilapangkan rizkinya oleh Allah dan diberi limpahan harta dengan segala jenisnya. Orang tersebut dihadapkan kepada Allah dan dikenalkan kepadanya berbagai kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepadanya, dan dia mengakuinya. Maka Allah tanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau lakukan dengan berbagai kenikmatan itu?” Diapun menjawab: “Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang Engkau senangi, kecuali aku selalu belanjakan hartaku padanya untuk-Mu.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta. Engkau lakukan semua itu adalah untuk engkau dikatakan dermawan dan memang telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan untuk orang ini diseret pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih nya hadits nomor 1905 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu juz 13 hlm. 44 bab Man Qotala li ar-Riya'i wash Shum'ati istahaqqon-nari ).
Cr. to Ghuroba Blog
Sesiapa yg ikut jalan lain... tak akan jumpa jalan pulang
-
Assalamualaikum atok..
Cucu ada beberapa persoalan yg perlu dirungkai..
Di mana special nya manusia ni tok sampai Allah kata manusia sebaik2
ciptaan?...
6 years ago
0 comments:
Post a Comment