As-Shidqu , yakni kejujuran. Yaitu kejujuran dalam menyatakan iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kejujuran dalam segala perkara yang diwajibkan oleh agama kita. Kejujuran yang dimaksud di sini ialah samanya pernyataan lisan dengan apa yang diyakini oleh hati dan sama antara keadaan tersembunyi dengan keadaan di hadapan orang ramai. Kalau lawan daripada Al-Ikhlash adalah An-Nifaq (yakni kemunafikan), maka lawan dari As-Shidqu adalah Al-Kadzib (yakni kedustaan). As-Shidqu itu adalah sumber segala amalan baik, sedangkan Al-Kadzib itu adalah sumber segala amalan jahat. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya As-Shidqu itu membimbing orang kepada amalan shalih dan amalan shalih membimbing pelakunya kepada surga. Dan sesungguhnya seorang itu terus-menerus berbuat shidiq (yakni jujur) sehingga ditulis di sisi Allah sebagai shiddiq (yakni orang yang selalu berbuat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu membimbing orang kepada amalan jahat, dan sesunguhnya amalan jahat itu membimbing pelakunya ke neraka. Dan seseorang itu terus-menerus berdusta, sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari Abdullah bin Mas'ud).
Diberitakan pula oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam tentang ciri-ciri as-shidqu itu adalah ketentraman pada pelakunya dan sebaliknya ciri-ciri kedustaan itu ialah kebimbangan pada pelakunya:
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan berpeganglah dengan apa yang tidak meragukan kamu, karena As-Shidqu (kejujuran) itu menyebabkan ketentraman pada pelakunya dan dusta itu menyebabkan kebimbangan pada pelakunya.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya dari Al-Hasan bin Ali).
Al-`Allamah Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut:
“Maknanya ialah: Tinggalkanlah apa yang engkau ragu padanya baik dari perkataan maupun dari perbuatan, ragu apakah ia terlarang ataukah ia tidak terlarang, apakah ia sunnah ataukah ia bid'ah. Tinggalkanlah yang demikian keadaannya dan condonglah kamu kepada apa yang engkau tidak ragu padanya. Yang dimaksud dengan perintah ini ialah bahwa setiap mukallaf hendaknya membangun keyakinan agamanya di atas keyakinan ilmiah setelah melakukan upaya penelitian dalil untuk mencapai kepastian. Dan hendaknya setiap orang itu di atas ilmu dalam beragama.” ( Tuhfatul Afwadzi bi Syarah Jami'it Tirmidzi jilid 7 hal. 221).
Demikianlah mestinya sikap shidiq dalam beragama, sehingga akan menimbulkan ketenangan di hati dalam meyakini agamanya dan akan mantap dan penuh semangat dalam mengamalkannya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai akhlaq shidiq dalam beragama, dan banyak bermain-main dengan kedustaan dalam beragama, maka sungguh dia akan hanya menimbulkan fitnah belaka dalam mengamalkan agama. Karena pengamalannya tidak konsisten pada satu sikap, akan tetapi mudah sekali berubah-rubah dari satu sikap kepada sikap yang lainnya tanpa alasan yang jelas. Baru saja orang-orang diperingatkan untuk jangan dekat-dekat dengan si fulan. Alasannya bahwa si fulan itu membawa pemahaman yang sesat. Kemudian dalam tempo sebulan atau dua bulan, sudah berubah lagi dengan seruan untuk mengupayakan ishlah (kerukunan) kembali dengan si fulan yang dituduh sesat itu. Bila ditanyakan, apa alasannya kok terjadi perubahan sikap yang secepat itu? Jawabnya: “Masih menunggu keterangan Ulama'.” Sementara para pendusta yang sedang mempermainkan ummat dengan kedustaannya, terus-menerus berpindah-pindah dari satu Ulama' kepada Ulama' yang lainnya untuk memperoleh pembenaran terhadap kedustaannya dengan melakukan penipuan kepada para Ulama' tersebut. Bila mendapat jawaban dari seorang Ulama' yang tidak sesuai dengan manuver kedustaannya, maka tentunya jawaban itu segera disembunyikan atau tidak berselera untuk menyebarkannya. Akan tetapi bila dia berhasil mendapatkan jawaban yang sesuai dengan hawa nafsu kedustaannya, segeralah jawaban itu disebarluaskan ke semua pihak disertai dengan anjuran untuk mengikuti Ulama'. Betapa celakanya ummat ini ketika dakwah kepada sunnah (ajaran) Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dijadikan bulan-bulanan permainan kotor para pendusta. Inilah kenyataan pahit yang sedang berlangsung di generasi kita. Dan mutiara As-Shidqu adalah mutiara akhlaq yang telah hilang dari kehidupan kita. Sehingga yang sedang mewabah adalah Al-Kadzib .
Quo vadis Ummat Islam, barangkali inilah yang sangat dikuatirkan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (beliau adalah Imam dari kalangan tabi'it tabi'in) sebagai mana yang telah diceritakan oleh murid beliau yang bernama Al Faryabi rahimahullah sebagai berikut ini:
“Sufyan Ats-Tsauri bila melihat orang-orang An-Nabath (yakni orang-orang asli Irak tidak punya nasab dan tidak terdidik dalam keluarga yang mulia) mencatat ilmu di majlis ilmu, wajah beliau berubah karena tidak senang. Maka aku pun menanyakannya: “Wahai Aba Abdillah, aku melihat engkau amat keberatan bila melihat orang-orang itu menulis ilmu (yakni ilmu agama), mengapa?” Beliau pun menjawab: “Ilmu agama ini dulunya ada di tangan orang-orang Arab dari kalangan orang-orang mulia. Maka bila ilmu ini telah keluar dari tangan mereka dan berpindah tangan kepada orang-orang nabathi itu dan di tangan orang-orang yang rendah budi pekertinya, maka akan rusaklah agama ini.” (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami' Bayanul Ilmi wa Fadl-lihi jilid 1 hal 620 – 621, riwayat ke 1072)
Maka untuk membangun kembali akhlaq shidiq pada ummat ini, haruslah dibangkitkan keimanan mereka kepada ancaman adzab Allah di dunia dan akhirat terhadap para pendusta. Agar orang yang beriman itu terus-menerus mendidik dirinya untuk selalu bersikap shidiq . Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang menganjurkan sikap shidiq dan mengancam orang yang selalu berdusta, tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak beriman kepada kengerian adzab Allah bagi orang yang berdusta dan tidak beriman pula kepada janji kemuliaan dari-Nya bagi orang yang berbuat shidiq .
3. Al-Amanah , yaitu menunaikan kepercayaan pihak lain kepadanya. Seseorang bila telah dipercaya oleh satu pihak dengan satu perkara, maka orang yang dipercaya tersebut telah mendapat beban amanah yang harus ditunaikan.
Pihak pemberi amanah yang paling tinggi dan paling besar adalah Allah Ta'ala. Hal ini telah diberitakan oleh-Nya dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab 72:
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit yang tujuh dan kepada bumi serta gunung-gunung, tetapi semuanya tidak mau menerima tawaran untuk menunaikan amanah itu karena merasa berat untuk memikulnya. Tetapi manusia justru menerimanya. Sesungguhnya manusia itu memang sangat dhalim dan sangat bodoh.” ( Al-Ahzab : 72)
Amanah yang Allah tawarkan itu ialah satu ketentuan yang menyatakan: “Barang siapa menunaikan kewajiban mentaati-Nya maka dia akan mendapatkan pahala dari-Nya dan barang siapa yang tidak menunaikan kewajiban itu maka akan disiksa oleh-Nya.” (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini).
Adapun pihak yang diberi amanah yang paling mulia adalah para Nabi dan para Rasul, sebagaimana hal ini telah diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di Al-Qur'an surat An-Nahl 36:
“Dan sungguh Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rasul yang mengajarkan perintah-Nya agar kalian beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkan diri dari para thaghut (yakni segala sesembahan selain Allah). Maka sebagian manusia ada yang mendapatkan petunjuk Allah untuk menunaikan ajaran para Rasul itu dan ada pula dari mereka telah ditentukan atasnya kesesatan. Oleh karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibatnya orang yang mendustakan ajaran para Rasul itu.” ( An-Nahl : 36)
Kemudian setelah kedudukan para Nabi dan para Rasul itu sebagai penerima amanah yang termulia, ialah para Ulama' dan para da'i yang menyeru manusia kepada agama Allah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Fushshilat 33:
“Dan siapakah yang lebih baik omongannya dari orang yang menyeru manusia kepada agama Allah dan beramal shalih dan menyatakan: Sesungguhnya aku termasuk dari golongan orang-orang yang tunduk kepada agama Allah.” ( Fushshilat : 33)
Setelah kedudukan para ulama' dan da'i itu, pihak termulia yang mendapat amanah Allah adalah segenap kaum Mukminin. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran 110:
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang diciptakan untuk kebaikan bagi manusia untuk menunaikan misi tugas kalian yaitu menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” ( Ali Imran : 110)
Sedangkan perkara paling mulia yang diamanahkan kepada kita adalah Islam dan Iman. Tentang keduanyalah kita akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak, yaitu sejauh mana kita menunaikan kewajiban menuntut ilmu agama Allah dan sejauh mana kita beramal dengan ilmu tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Fathir 32:
“Kemudian Kami amanahkan Kitab ini (yakni ilmu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada orang-orang yang Kami pilih. Dari mereka yang diberi amanah itu ada yang dhalim terhadap diri mereka sendiri dan dari mereka ada yang sedang (yakni tidak dhalim dan tidak pula lebih baik), ada pula dari mereka yang melampaui yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar dari Allah.” ( Fathir : 32)
Demikianlah amanah yang termulia itu, ia datang dari pemberi amanah yang termulia, yaitu Allah Ta'ala. Diberikan amanah itu kepada makhluq Allah termulia, yaitu para Nabi dan para Rasul. Disampaikanlah amanah itu dari mereka kepada orang-orang yang termulia setelah para Nabi dan para Rasul, yaitu para ulama' dan para da'i. Dipercayakan untuk pengamalannya kepada ummat terbaik, yaitu segenap kaum Mukminin yang menjalankan kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah Ta'ala dengan cara yang benar menurut-Nya.
Maka bila amanah yang termulia ini ditunaikan dengan baik, penduduk bumi akan hidup dalam kesejahteraan dhahir maupun batin. Akan tetapi bila amanah ini dikhianati, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi baik dhahir maupun batin. Dan segala amanah yang lainnya akan dikhianati dengan ditelantarkan segala kemestiannya, sehingga yang merajalela di muka bumi adalah mental khianat dan pada saat itu hilanglah akhlaq menunaikan amanah. Semua malapetaka ini telah diperingatkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
Seorang Arab dari gunung datang ke majlis Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan bertanya: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Ialah bila diterlantarkannya amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu masih bertanya lagi: “Bagaimana amanah itu dikatakan telah diterlantarkan?” Beliau menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah terjadinya hari kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya bab Kitabul Ilmi hadits ke 59 hari Abi Hurairah).
Begitulah bahayanya kerusakan amanah, yaitu dengan diserahkannya perkara agama ini sebagai amanah yang termulia kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam memberitakan tentang keadaan yang paling genting menjelang datangnya hari kiamat ketika amanah menjaga agama Allah telah diabaikan:
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, kapan kita meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar , padahal keduanya adalah amalan yang pokok bagi orang-orang baik?” Beliau pun menjawab: “Apabila tampak pada kalian apa yang pernah nampak pada Bani Israil ummat sebelum kalian.” Akupun bertanya lagi: “Apakah yang pernah tampak pada mereka?” Beliau menjawab: “Apabila orang-orang baik dari kalian berbasa-basi dengan orang-orang jahat dari kalian dalam kemaksiatan, dan fiqih (yakni ilmu agama) di tangan orang-orang yang paling jahat dari kalian (yaitu orang yang berilmu agama tetapi suka melakukan kemaksiatan), dan negara dipimpin oleh orang-orang kerdil pikirannya (yakni orang-orang yang lemah akal), maka ketika itulah fitnah akan terus-menerus meliputi kalian, dan kalian akan menyerang dan diserang.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Ausath jilid 1 hal. 51 – 52 riwayat ke 144).
Terhadap hadits ini Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id jilid 7 hal. 286 melemahkan sanadnya. Tetapi hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad sehingga menjadi hasan karenanya. Adapun berbagai sanad tersebut adalah sebagai berikut ini:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Anas bin Malik dalam Jami' Bayanul Ilmi Wa Fadl-lih jilid 1 dengan membawakan beberapa sanad di halaman 610 – 612, riwyat ke 1048 hingga 1050. Juga Ibnu Majah dalam Sunan nya dari Anas bin Malik hadits ke 4015. Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik pula dalam Al-Hilyah jilid 5 hal 185. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan hadits ini dari A'isyah Ummul Mukminin dalam Kitabul Amri bil Ma'ruf wan Nahyi ‘anil Munkar riwayat ke 27. Abu Ja'far At-Thahawi meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik dalam Musykilul Atsar juz 4 hal 216 riwayat ke 3658. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya dari Anas bin Malik dalam Musnad beliau jilid 3 halaman 187. Al-Hindi membawakan riwayat ini dalam Kanzul Ummal nya jilid 3 halaman 685 riwayat ke 8458 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Ibnu An-Najjar dari Anas bin Malik.
Maka telah jelaslah bagi kita, bahwa bila amanah telah hilang dari akhlaq ummat Islam, kondisi ummat Islam akan sangat terpuruk. Masyarakat cenderung berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri dan amar makruf nahi munkar telah mandek. Tawashaw bil haq watawashaw bis shabr (yakni saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran) telah ditinggalkan. Karena ummat Islam telah hilang kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan saling mencurigai di antara sesamanya. Ummat Islam terkotak-kotak dalam bebagai golongan, lengkap dengan pemahamannya masing-masing terhadap agamanya. Inilah perpecahan yang amat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dan dengan sebab ini Allah mengutuk ummat Islam sebagaimana Ia mengutuk ummat-ummat Yahudi dan Nashara. Sehingga musuh-musuh ummat Islam menjadi berani melecehkan dan menghinakan mereka, bahkan mereka dijadikan sebagai bulan-bulanan kejahatan orang-orang Yahudi, Nashara dan musyrikin.
Untuk membangun kembali harga diri dan kewibawaan ummat Islam, haruslah diupayakan dan dipelopori pendidikan agama bagi ummat ini dengan menekankan pada upaya menumbuhkan kepribadian al-amanah bersamaan dengan kepribadian al-ihkhlas dan as-shidiq .
Cr: Ustaz Jaafar Umar Talib
Sesiapa yg ikut jalan lain... tak akan jumpa jalan pulang
-
Assalamualaikum atok..
Cucu ada beberapa persoalan yg perlu dirungkai..
Di mana special nya manusia ni tok sampai Allah kata manusia sebaik2
ciptaan?...
6 years ago
0 comments:
Post a Comment